Rojas, 15, Sarawak
Malam itu di asrama anak laki-lakipanas sekali. Dan Husein masih belum bisa tidur. Berkali-kali ia membalikkan badannya di tempat tidur sambil mengumpat-umpat.
"Kenapa aku harus tidur secepat ini? Aku kan sudah sehat!"
Sudah tiga hari ia menempati klinik asrama karena radang tenggorokan yang dideritanya. Sebenarnya sore itu dokter sudah menyatakan bahwa ia sudah sembuh, tapi ia hanya mengijinkan untuk kembali ke kamarnya esok paginya.
"Besok saja ya, sekarang kan tanggung, kamarmu yang dulu belum dibersihkan. Nanti kalau kamu sakit lagi gimana? Kamu nggak mau penyakitmu bertambah parah kan?" Dokter Hamed berujar sambil tersenyum.Suster Ema yang berdiri di samping pak dokter ikut mengiyakan sambil mengacak-acak rambut Husein.
“Betul, Nak. Tadi waktu saya ke sana ternyata dinding sebelah kananmu masih dicat, dan kemungkinan baru selesai besok pagi. Sabar ya, Nak. Lagipula kamarmu yang ini kan jauh lebih luas dan jendelanya pun jauh lebih besar. Besok saja ya, Nak?”
Husein terpaksa menurut sambil bersungut-sungut. Sialan, umpatnya, bisa mati kebosanan aku di sini. Tinggal selama tiga hari di klinik asrama itu sendirianyang letaknya bersebelahan dengan kamar ibu asrama terasa tiga tahun baginya. Tidak ada televisi dan radio. Sungguh membosankan! Setiap hari yang dikerjakannya hanyalah membaca buku-buku cerita usang yang dipinjamnya dari Syahril, anak tukang kebun di asrama tersebut.
“Anak Kancil Bertemu Dengan Berry si Beruang Coklat..” Husein menggumam sambil jari jemarinya menyeruak halaman demi halaman buku cerita lusuh yang dipegangnya tersebut. Apa remaja seumur dia masih suka membaca buku cerita anak-anak seperti ini? Husein menggeleng-gelengkan kepalanya sambil diam-diam menertawakan Syahrilyang memang penampilannya lugu dan polos. Pantas dia masih menjomblo, Husein tersenyum sambil membayangkan Syahril dengan sandal jepit biru dan kaos oblong kedodoran yang hampir setiap hari dikenakannya tersebut.
Hawa di ruangan kecil di samping kamar ibu asrama tersebut masih terasa panas. Tetapi Husein sudah tidak mengindahkannya lagi. Ia sedangasyik dengan cerita Kancil dan Beruang yang terdapat di hadapannya. Baginya tiada jalan lain untuk membunuh waktu yang membosankan tersebut dengan memaksakan dirinya memahami dan terlarut dengan setiap aluran cerita yang terpaksa direguknya kata demi kata.
Tak terasa waktu berlalu begitu cepat. Jam sudah menunjukkan hampir pukul setengah satu pagi.Sayup-sayup terdengar suara binatang malam bersahutan dari luar jendela kamarnya diiringi sesekali suara lembut hembusan angin yang bertiup di sela-sela cabang pepohonan akasia di samping kanan jendela kamar bercat putih tersebut.
Husein memandang ke arah jendela di sampingnya yang terbuka setengah. Angin malam berhembus masuk ke dalam kamarnya yang juga dicat putih. Huh, masih terasa panas, keluhnya sambil mengusap keningnya yang agak berkeringat. Kipas angin di atas kepalanya sudah lama tidak berfungsi lagi. Tangannya bergerak untuk membuka jendela itu lebih besar lagi ketika ia menangkap sesosok bayanganputih berkelebat di atas pohon tepat di seberang kamarnya.
Husein menggosok-gosokkan matanya. Apa itu, pikirnya penasaran.
Husein kini duduk dengan tegak di atas ranjangnya yang berderit-derit setiap kali ia menggerakkantubuhnya yang sedikit gempal. Sosok itu kini terlihat jelas. Ia adalah sesosok wanita muda cantik yang sedang duduk dudukdi atas dahan yang tinggi sambil menggerak-gerakkan kakinya dan bersenandung pelan. Seolah-olah ia sedang berayun-ayun di atas ayunan. Rambutnya terlihat hitam lurus ikut bergerak-gerak ditiup angin yang berhembus pelan. Parasnya lembut dan cantik. Wanita misterius itu terus saja asyik bersenandung seolah tak memperhatikan sepasang mata yang mengawasinya dari kejauhan.
Husein menatapnya tak berkedip.Jantungnya berdegup keras. Keringat dingin mulai membasahisekujur tubuhnya. Tangannya gemetaran. Otaknya seakan berhenti berputar. Dia hanya duduk terpaku menatap pemandangan di depannya.
Sekonyong-konyong wanita itu berhenti bersenandung dan dengan tiba-tiba menatap lurus ke arah Husein yang masih duduk terpaku di dalam kamarnya. Tatapannya tajam dan menusuk. Setajam tatapan elang yang hendak menerkamnya bulat-bulat dari atas pohon. Suasana bertambah hening mencekam. Husein merasakan seolah darahnya berhenti mengalir.
Sebelum Husein sempat menyadari apa yang sebenarnya sedang terjadi, tiba-tiba wanita itu ‘terbang’melayang dari atas pohon tempatnya bertengger dan detik berikutnya wajahnya sudah berada dekat sekali di jendela. Mata mereka saling bertatapan satu sama lain. Wanita itu berdiri begitu dekat dengan wajahnya sehingga Husein bisa merasakan hembusan hawa dingin dari sosok di hadapannya itu. Saat berikutnya tiba-tiba saja wanita itu tersenyum menyeringai. Wajah ayunya digantikan oleh paras yang tiba-tiba terlihat begitu menyeramkan. Taringnya yang panjang dan runcing menyeruak dari senyumnya yang jahat!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar